**Kolom: Larangan Atlet Transgender Masih Tentang Mendulang Poin Politik, Bukan Keadilan**Debat mengenai atlet transgender, khususnya perempuan transgender, yang berkompetisi dalam olahraga wanita terus berkecamuk.
Sayangnya, di tengah kompleksitas ilmiah dan etika yang melingkupi isu ini, seringkali kita menemukan bahwa wacana ini didominasi oleh agenda politik, bukan pencarian solusi yang adil dan inklusif.
Presiden Trump dan tokoh politik lainnya terus menggunakan kasus-kasus yang jarang terjadi sebagai panggung teater politik.
Mereka menyoroti contoh-contoh atlet transgender yang dianggap memiliki keunggulan fisik yang tidak adil, seolah-olah ini adalah representasi dari seluruh komunitas transgender.
Taktik ini sangat disayangkan karena mengabaikan realitas kompleks dan beragam dari pengalaman transgender, serta mereduksi diskusi yang bernuansa menjadi narasi yang sederhana dan memecah belah.
Klaim bahwa semua perempuan transgender memiliki keunggulan fisik yang inheren atas perempuan cisgender adalah generalisasi yang berbahaya dan tidak akurat.
Ilmu pengetahuan di balik performa atletik transgender masih berkembang, dan penelitian menunjukkan bahwa banyak faktor yang berperan, termasuk waktu transisi, terapi hormon, dan genetika individu.
Tidak ada satu ukuran pun yang cocok untuk semua, dan mengabaikan keragaman ini merusak upaya untuk menciptakan kebijakan yang adil.
Lebih lanjut, seringkali kita melihat adanya standar ganda dalam diskusi ini.
Jarang sekali kita mendengar kekhawatiran yang sama tentang keunggulan fisik yang dimiliki oleh atlet cisgender yang secara alami berbakat.
Michael Phelps, dengan rentang sayap dan kapasitas paru-parunya yang luar biasa, tidak pernah menghadapi seruan untuk melarangnya dari kompetisi.
Mengapa standar yang berbeda diterapkan pada atlet transgender?
Jawabannya, ironisnya, seringkali berakar pada prasangka dan ketakutan, bukan pada kepedulian yang tulus terhadap keadilan.
Sebagai jurnalis olahraga, saya percaya bahwa tugas kita adalah untuk meliput olahraga secara akurat dan adil, serta untuk menantang prasangka dan diskriminasi di mana pun kita menemukannya.
Larangan atlet transgender bukan tentang melindungi olahraga wanita; ini tentang mengucilkan dan mendiskriminasi kelompok yang rentan.
Ini adalah tentang menggunakan tubuh dan identitas transgender sebagai medan pertempuran dalam perang budaya yang lebih luas.
Kita harus mendorong percakapan yang lebih bernuansa dan berbasis bukti tentang atlet transgender.
Kita perlu mendengarkan pengalaman atlet transgender, berkonsultasi dengan para ilmuwan dan ahli medis, dan mengembangkan kebijakan yang adil, inklusif, dan menghormati martabat semua atlet.
Kita tidak boleh membiarkan politik menghalangi pencarian keadilan.
Pada akhirnya, olahraga harus menjadi tempat di mana semua orang memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dan bersaing, terlepas dari jenis kelamin atau identitas gender mereka.
Kita harus berjuang untuk menciptakan dunia di mana keadilan dan inklusi menang atas prasangka dan diskriminasi.